Rabu, 07 Desember 2016

Surabaya oh Surabaya

Patung ikan sura dan buaya yang menjadi icon Kota Surabaya


Saya kerap menyenandungkan lagu penyanyi cilik era 90-an Joshua yang berjudul Surabaya. Kira-kira begini liriknya :
Surabaya kalau di pagi hari
Lalu lalang mobil banyak sekali
Ada motor juga ada pedati
Banyak juga yang berjalan kaki
Surabaya oh Surabaya di pagi hari
Orang tua, anak-anak sibuk sendiri
Jika lagu yang dirilis pada 1999 ini sudah menggambarkan padatnya Kota Surabaya, bagaimana pula kondisi 17 tahun sesudahnya. 

Saya tak pernah membayangkan bakal merasakan hidup di Kota Pahlawan ini. Meski tak sepadat Ibukota, namun kota ini tak bisa dibilang sepi. Terlebih, pertumbuhan kelas menengah yang fantastis dengan gaya hidup hedonis membuat kota ini tak bisa mengelak dari kemacetan. Bahkan di luar jam sibuk pun beberapa titik kemacetan tetap tak bergeser. 

Apapun itu, terlepas dari makanan yang tidak ramah di lidah, saya senang berada di kota ini. Meski juga kadang saya kurang paham dengan beberapa istilah lokal. Justru memperkaya kosakata saya. Hahaha...

Surabaya tumbuh pesat. Berbagai pembangunan seperti tak pernah berhenti. Tapi kota ini membuktikan diri jika warganya cinta kebersihan. Juga ramah terhadap orang baru. Namun, sisi kearifan lokal dan budaya masih tetap terjaga. 

Saya selalu suka saat ada pergelaran seni. Terlebih jika tamu-tamu yang diundang dari berbagai negara. Pemkot tak main-main menyambut para tamu. Panggung seni ditampilkan di depan Balaikota. Tarian dan nyanyian tradisional menjadi pengiring. 

Yang juga selalu saya ingat, entah dalam acara apapun, pasti dilantunkan lagu wajib tentang perjuangan arek-arek Surabaya melawan penjajah.. Saya cuma ingat sepenggal liriknya :
Surabaya di tahun 45
Kami berjuang kami berjuang bertaruh nyawa

Itulah Surabaya, semoga saya bisa lebih lama lagi berada di Surabaya...

Foto-foto ini diambil beberapa waktu lalu saat perhelatan Cross Culture yang dihadiri perwakilan sejumlah negara, di depan Balaikota Surabaya. 


















Minggu, 04 Desember 2016

Bekerja Itu Belajar yang Dibayar (Profil Dirut Adira Finance)

Saya berfoto dengan Dirut Adira Finance Willy Suwandi di kantor pusat Adira Finance


Menekuni bisnis perusahaan pembiayaan bukan cita-cita awal Willy Suwandi Dharma (57 tahun). Direktur Utama Adira Finance tersebut memiliki latar belakang yang bertolak belakang dengan jabatan bisnisnya saat ini.

Namun, orang nomor satu di Adira tersebut memiliki prinsip tersendiri mengenai bekerja. Yaitu bahwa bekerja adalah belajar yang dibayar sehingga perbedaan latar belakang pendidikan dengan dunia pekerjaan justru membuatnya semakin terpacu untuk terus belajar.

Willy merupakan lulusan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor pada 1981. Ia kemudian melanjutkan kuliah dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka, Jakarta, pada 1992.

Setelah memperoleh gelar sarjana pertanian, pria kelahiran 29 Agustus 1956 tersebut memiliki cita-cita menjadi peneliti pangan nonberas. Hal itu dilatarbelakangi rasa penasaran untuk menemukan makanan pokok pengganti beras untuk masyarakat Indonesia. Bahkan, Willy sempat merancang penelitian tersebut di Irian Jaya untuk meneliti sagu.

Namun, Willy justru dimintai tolong oleh temannya untuk membantu dalam bisnis pembiayaan. Awalnya, ia hanya ingin membantu sementara, tapi bekerja di bisnis pembiayaan justru malah membuatnya ketagihan.

Willy sempat berpindah-pindah di beberapa perusahaan pembiayaan dan ditempatkan di divisi yang berbeda-beda. Baru pada 2003, ia menjabat sebagai direktur utama PT Asuransi Adira Dinamika, kemudian diangkat menjadi Komisaris PT AsuransiAdira dan Dinamika Direktur Utama Adira pada 2012 sampai sekarang. Willy diangkat sebagai direktur utama Adira Finance pertama kali dalam RUPS Tahunan pada 7 Mei 2012.

"Kalau saya dikasih tambahan pekerjaan, berarti tambah pengetahuan. Jadi, saya tidak begitu takut untuk mendapatkan kesempatan atau oportinity atau challenge untuk memegang bidang yang di luar background saya," ujar Willy menjelaskan kepada Republika, Kamis (30/4).

Di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha dalam bisnis pembiayaan, Willy masih menyempatkan waktunya untuk mengikuti kegiatan sosial dan organisasi. Willy tercatat sebagai anggota dewan pembina di Perkumpulan Increso yang bergerak dalam bidang sosial, khususnya membantu pengobatan bagi masyarakat yang memerlukan bantuan. Willy juga tergabung dalam board of trustee di Yayasan Danamon Peduli serta menjabat sebagai ketua Yayasan Lions Indonesia.

Waktu berkumpul bersama keluarga biasanya dihabiskan untuk berwisata kuliner mencicipi aneka masakan unik di pinggir jalan. Akhir pekan juga sering dihabiskannya untuk berlibur ke Bandung bersama keluarga. 

Willy juga menyempatkan diri melatih fisik agar tetap bugar dengan bersepeda ataupun bermain badminton bersama kawan satu organisasi pada akhir pekan. Pria tersebut mengaku memiliki minat pada olahraga yang memacu adrenalin. Itu sebabnya, ia tidak terlalu menyukai permainan golf.

Bahkan, penyuka segala janis bakmi tersebut memiliki hobi naik gunung dan panjat tebing yang ditekuni sejak kuliah. Namun, hobi lama tersebut sudah jarang dilakoni mengingat usianya hampir berkepala enam. Willy mengaku melakukan pendakian di Gunung Gede melalui jalur Gunung Putri pada empat tahun lalu.

Dalam menjalankan bisnis, Willy menilai sosok pemimpin harus merangkul seluruh karyawan. Dia juga menilai pentingnya persamaan pemahaman di antara seluruh karyawan untuk mencapai target perusahaan.

Menurutnya, atasan dengan bawahan itu harus melakukan review yang rutin dan monitoring serta melakukan coaching dan konsuling. Hal itu untuk mengetahui apa yang diharapkan dan dibutuhkan karyawan di bawahnya serta memberikan tambahan pengetahuan.

"Pemimpin itu harus bisa menerima tantangan, menghadapi tantangan, dan harus selalu berpikir out of the box," papar dia.

(Tulisan ini pernah diterbitkan harian Republika, Mei 2015)